twitter


Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan lima komitmen yang
harus dipegang dalam membangun koalisi. Sungguh merisaukan, pendidikan nasional tidak termasuk dalam komitmen tersebut. Lebih merisaukan lagi bila diingat, di antara ke tiga puluhan parpol peserta pemilu legislatif hanya satu (Gerindra) yang menampilkan pendidikan secara eksplisit dalam program kerjanya. Namun, ternyata tidak digubris oleh rakyat pemilih.
Bila rakyat biasa tidak menaruh perhatian secukupnya pada pendidikan, dapat dipahami. Walaupun pendidikan adalah masalah setiap orang, memang tidak semua mengerti pendidikan. Namun, tidak bisa dimaafkan kalau parpol yang sampai tidak concern pada pendidikan. Bukankah parpol-parpol pada berebutan kekuasaan demi mendapat hak memerintah, hak mengatur hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? Sedangkan pendidikan, menurut natur kerjanya, yang membangun masa depan negara dan bangsa, melalui kemampuan berpikir dan berbuat dari para warga yang dibinanya.
Efektivitas pendidikan nasional tidak hanya menyangkut masalah kecukupan anggaran, persekolahan gratis, BHP, sekolah bertaraf internasional (SBI), otonomi sekolah, sertifikasi guru, dan ujian nasional. Jauh lebih penting dan menentukan daripada semua praksis pembelajaran itu, pendidikan nasional memerlukan satu konsep relevan, berarti futuristis. Dengan begitu, bukan hendak melupakan saja masa lalu.
Kita adalah makhluk memori dan imajinasi, sebagian dari kekinian kita adalah juga masa lalu dan masa depan. Kita tidak pernah seluruhnya dalam masa kini, kecuali selaku anak-anak, karena mungkin, pembawaan kita adalah selalu bertransendensi. Kita dapat hidup dalam memori masa lalu, masa lalu kita sendiri, atau masa lalu orang lain melalui memori historis. Kita bisa mengimajinasikan diri sendiri sebagai orang lain, tidak hanya bagai dalam mimpi melek (waking dream), tetapi juga dalam arti lebih substansial. Kita pun mampu memproyeksikan diri ke masa depan. Apa “yang belum” benar-benar merupakan bagian dari diri kita sebagaimana “yang tidak lagi”. “Kekinian” kita terdiri atas hal-hal tersebut plus lain-lain lagi.
Konsep pendidikan perlu berpembawaan futuristis, karena dengan mengambil pelajaran dari masa lalu, setiap gerak pembangunan diarahkan ke masa depan dan setiap orang akan menjalani sisa hidupnya pada masa depan. Maka pendidikan, melalui konsepnya, harus terpanggil menyiapkan masa depan itu.
Manusia Terdidik
Perbuatan transendental ini bukan hal yang baru bagi bangsa kita. Founding fathers dari Republik Indonesia telah melakukan hal ini semasa masih di alam penjajahan dahulu berkat kearifannya selaku manusia terdidik (educated man). Dengan mewujudkan pendidikan yang berkonsep futuristis berarti sebagian dari mereka telah menjalani periode ketika apa yang belum terjadi menjadi lebih riil bagi kehidupan batin dan keyakinan mental daripada apa yang segera ada di tangan.
Jangan lupa bahwa generasi sekarang yang sudah hidup di alam kemerdekaan dan banyak sedikit telah menikmatinya, adalah berkat pendidikan yang diusahakan oleh para pendekar kemerdekaan tersebut. Beberapa orang dari mereka yang belajar di Belanda, sepulang dari sana sejak awal tahun 20-an, abad yang lalu, membangun sekolah berhaluan nasional di kampung halaman masing-masing. Dilihat dari sudut pandang, sa at itu, sekolah-sekolah tersebut melaksanakan konsep pendidikan yang berpembawaan futuristis. Sebaliknya, pihak pemerintahan penjajah mencapnya sebagai “sekolah-sekolah liar” (wilde scholen).
Willem Iskander membuka sekolah guru di Tano Bato, Mandailing. Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta, Mohammad Sjafei membangun Indonesische Nijverheid School (INS) di Kayutanam, Minangkabau. Drs Mohammad Hatta mengusahakan gerakan politis “Pendidikan Nasional Indonesia” (PNI) yang kemudian dibantu oleh Sutan Sjahrir. Bagi kedua tokoh pergerakan ini, rupanya partai dipikirkan tidak hanya berfungsi sebagai kendaraan politik, tetapi sekaligus sebagai sarana pendidikan bagi para kader untuk berpolitik dan berdemokrasi secara correct. Suatu pikiran yang kiranya kurang, bahkan sama sekali, tidak diemban oleh tokoh-tokoh politikus, dewasa ini.
Beberapa pendekar kemerdekaan lainnya, selain tergolong cendekiawan, adalah juga pendidik dengan cara masing-masing, seperti Dr Soetomo, Dr Wahidin Soedirohoesodo, Dr Douwes Dekker, Dr Danoedirdjo Setjaboedi, dan Ki Mangoensarkoro.
Apakah tidak merisaukan, dewasa ini, mengetahui menipisnya tanggung jawab warga terhadap kehidupan publik, tidak hanya di kalangan mereka yang pernah sulit mendapatkan pendidikan formal, tetapi juga di kalangan mereka yang pernah memperoleh dukungan beasiswa, jadi dana publik, hingga ke studi tingkat doktorat dan di kalangan keluarga berada yang menanggung sendiri seluruh biaya pendidikannya.
Apakah tidak mengkhawatirkan menyaksikan betapa tidak sedikit warga terpelajar yang memperlakukan Tanah Air hanya sebatas artian fisik dan formal, tetapi tidak dalam artian mental. Tanah Air dalam artian fisik adalah tempat berpijak, medan pencarian nafkah dan sumber kehidupan serta taman penguburan jasad yang tidak bernyawa. Tanah Air dalam artian formal, adalah otoritas yang memberikan identitas dan legalitas perbuatan bagi warga. Tanah Air dalam artian mental adalah entitas luhur yang kepastian kelangsungan eksistensinya diharapkan menjadi pemikiran pribadi warga, masalah yang dihadapinya seharusnya menjadi keprihatinan personal dan ada kesediaan pribadi menanggung tanpa pamrih tuntutan solusi masalah tersebut di bidang apa pun.
Mencemaskan
Sungguh mencemaskan melihat betapa otoritas tertinggi di bidang pendidikan, setelah menjadi “Departemen Pendidikan Nasional”, justru memfasilitasi pembentukan “Sekolah Berbasis Internasional” (SBI) dengan anggaran yang relatif lebih besar daripada rata-rata anggaran “sekolah nasional” yang keadaannya semakin memprihatinkan. Sedangkan ukuran keinternasionalan dari SBI itu sendiri cukup ambigu dan pasti sangat kerdil bila ia hanya berupa bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Apakah murid-murid di situ diajari menyanyikan himne nasional “Indonesia Raya” dalam bahasa Inggris supaya kedengarannya lebih afdol?
Sungguh heran melihat departemen ini menghamburkan dana kerja untuk beriklan ria tentang “sekolah gratis” yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, tentang “sekolah harus bisa”, padahal sekolah pasti tidak bias, karena yang bisa itu adalah pendidikan yang berkonsep futuristis. Ketimbang meninabobokan rakyat dengan kebohongan dan kekeliruan, bukankah lebih efektif kalau dana itu dipakai untuk memperbaiki sarana fisik pendidikan yang rusak begitu parah (atap sekolah bocor). Bahkan sudah pernah terjadi insiden yang mencelakakan murid (gedung sekolah roboh).
Sekolah perintis guru di Tano Bato Mandailing sudah lenyap. Seperempat abad kemudian (1982) di atas bekas fondasi bangunannya, seorang pengusaha idealis, Siin Irawadhy, membangun sebuah Sekolah Menengah Teknik lengkap dengan peralatan belajarnya. Setelah sang idealis ini meninggal, penduduk setempat tidak mampu mengoperasikannya sebagai lembaga pendidikan teknik unggulan. Sekolah INS Kayutanam masih ada, namun tanpa semangat juang dari pendiri awalnya, ia tidak bisa disebut lagi sebagai sekolah model.
Gerakan “Pendidikan Nasional Indonesia” sudah tidak ada lagi. Demikian pula para pendiri dan pengasuhnya dahulu. Yang masih tetap berkiprah di seluruh Nusantara, tidak tanpa kesulitan, adalah perguruan Taman Siswa.
Kini, para politikus dengan parpolnya hanya berminat pada kekuasaan yang inheren dengan kekuatan parpol, tidak concern pada misi suci (mission sacrée) yang inheren dengan kekuasaan tadi, yaitu kerja mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka Taman Siswa terpanggil untuk menanganinya, mengulang kerja bakti Ki Hajar Dewantara.

0 komentar:

Posting Komentar